BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang,
Jika dianalisa kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan terutama dalam bidang agama yang khusus dalam bidang agama
islam terutama bidang fiqih sangat mendasar sekali banyak orang yang belum
faham khususnya dalam ilmu faraidh dan mawaris.
B. Rumusan masalah
1. sumber
hukum waris islam.
2. sumber
hukum waris nasional
3. hukum
waris dalam kompilasi hukum waris nasional.
4.
hubungan waris islam dengan hukum waris nasional.
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai
berikut:
1.
Tujuan
Umum Memperoleh gambaran tentang bagaimana pengetahuan tentang agama khususnya
dalam bidang agama dalam pengetahuan sumber hukum islam dalam ilmu mawaris atau
faraidh.
2.
Tujuan
Khusus:Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui seberapa penting dasar
–dasar hukum islam khususnya dalam bidang kewarisan harta benda.
BAB II
PENGERTIAN
KEWARISAN DAN DASAR-DASARNYA
A. PENGERTIAN KEWARISAN
Warisan adalah
harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan berasal
dari bahasa
Arab Al-miirats,
dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa-
yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.
Ahli waris
adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang
meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba
sahaya (wala’).
Harta Warisan
yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah
sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau
materi lain yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli
warisnya.
B.
SUMBER HUKUM WARIS ISLAM
Hukum islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal
ketentuan yang berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan yang
sangat adil sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Al-quran dan Al-hadist, dalam hukum warisini telah ditetapkan
dengan rinci bagian masing-masing ahli waris baik laki-laki ataupun perempuan
mulai dari bapak,ibu,kakek
,nenek,suami,istri,anak,saudara,dan seterusnya. Adapun ketetapan mawaris dijelaskan pula dalam
hadist, hanya hukum warislah
yang dijelaskan secara terperinci dalam Al-quran sebab waris merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal
dalam Islam ataupun dalam
negara serta di benarkan adanya oleh Allah SWT.
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah al-quran dan hadist
atau sunah Rasul kemudian
ijtihat para ulama bukan bersumber kepada pendapat seseorang yang terlepas dari
jiwa Al-quran maupun sunah
Rasul. Adapun sumber-sumber
hukum Islam yang berhubungan
dengan masalah mawaris ,antara lain;
a.
Al-quran
surah An-Nisa ayat 7
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian [pula]
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (7)
b.
Al-quran
surah An-Nisa ayat 11-12
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang
[pembagian pusaka untuk] anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya [saja], maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. [Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya. [Tentang] orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
[banyak] manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (11) Dan bagimu [suami-suami]
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang
saudara perempuan seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat
kepada ahli waris . Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”(12)
c.
Al-quran
surah An-Nisa ayat 176
“Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah
[1]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah [yaitu]:
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh harta
saudara perempuan], jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka [ahli waris itu terdiri dari] saudara-saudara laki
dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan [hukum ini] kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (176)
Adapun dasar atau sumber hukum waris yang berasal
dari sunah rasul ataupun hadist di antaranya;
1.
yang
artinya”Allah telah
menurunkan hukum waris bagi saudara-saudaramu yang perempuan itu dan Allah telah menerangkan bahwa mereka mendapat bagian dua pertiga dari
hartamu”
2.
yang
artinya”bagi yang membunuh tidak mendapatkan hak waris atau bagian harta warisan”(HR.An nasai)
3.
yang
artinya”seorang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan dari seorang
kafir,dan sebaliknya seorang kafir tidak berhak mendapat bagian harta warisan dari seorang
muslim”(HR.jamaah ahlu hadist)
4.
Dari
Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh
(bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR
Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan atau intisari hadits ini: Dalam
pembagian warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli
waris golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu),
kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah
(ahli waris penerima sisa).
5.
Dari
Jabir bin Abdullah RA, dia berkata: Janda (dari Sa'ad RA)
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.
datang kepada Rasulullah SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa'ad yang telah syahid pada Perang Uhud. Paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka. Keduanya tidak dapat kawin tanpa harta." Nabi SAW bersabda: "Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini." Kemudian turun ayat-ayat tentang warisan. Nabi SAW memanggil si paman dan berkata: "Berikan dua pertiga untuk dua orang anak Sa'ad, seperdelapan untuk isteri Sa'ad, dan selebihnya ambil untukmu." (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Dalam kasus pembagian warisan yang ahli warisnya terdiri dari dua orang anak perempuan, isteri, dan paman, maka kedua anak perempuan mendapat 2/3 bagian, isteri mendapat 1/8, dan paman menjadi ‘ashabah bin-nafsi yang mendapat sisanya.
6.
Dari
Huzail bin Surahbil RA, dia berkata: Abu Musa RA ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki, dan
seorang saudara perempuan. Abu Musa RA berkata: "Untuk anak perempuan
setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah kepada Ibnu Mas'ud RA,
tentu dia akan mengatakan seperti itu pula." Kemudian ditanyakan kepada
Ibnu Mas'ud RA dan dia menjawab: "Saya menetapkan berdasarkan apa yang
telah ditetapkan oleh Nabi SAW. Yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu
perempuan seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk saudara
perempuan." (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)Kesimpulan
atau intisari hadits ini:Hadits ini menjadi dasar hukum yang menetapkan hak waris
cucu perempuan (dari anak laki-laki) yang mendapat 1/6 bagian jika bersama
dengan seorang anak perempuan yang mendapat 1/2 bagian. Sementara itu, saudara
perempuan mendapat sisanya (dalam hal ini, saudara perempuan menjadi ‘ashabah
ma’al-ghair dengan sebab adanya anak perempuan dan/atau cucu perempuan)
Kembalilah dulu, nanti saya
akan bertanya kepada orang lain tentang hal ini." Mughirah bin Syu'bah RA
berkata: "Saya pernah menghadiri majelis Nabi SAW yang memberikan hak
nenek sebanyak seperenam." Abu Bakar RA berkata: "Apakah ada orang
lain selain kamu yang mengetahuinya?" Muhammad bin Maslamah RA berdiri dan
berkata seperti yang dikatakan Mughirah RA. Maka akhirnya Abu Bakar RA
memberikan hak warisan nenek itu." (HR Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu
Majah)Kesimpulan atau intisari hadits ini:Hadits ini menjadi dasar hukum yang
menetapkan hak waris nenek, yaitu nenek mendapat 1/6 bagian jika cucunya
meninggal dengan syarat tidak ada ibu.
Demikianlah beberapa hadits Nabi SAW yang dapat
dijadikan sebagai pelengkap sumber hukum waris Islam setelah Al-Qur’an. Dari
ayat-ayat mawaris dan hadits-hadits mawaris, maka para ulama telah menyusun
satu cabang ilmu dalam agama Islam yang diberi nama Ilmu Faraidh atau Ilmu
Mawaris yang menjadi pedoman bagi umat Islam untuk melaksanakan pembagian harta
warisan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan bimbingan Rasulullah SAW
Ijtihad
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci tentang
pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan adanya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum
tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang
tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya
bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.
C.
SUMBER HUKUM WARIS NASIONAL
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku
secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris
yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa .Hal ini adalah
akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia
Belanda dahulu. Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah
tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional
(seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai
dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan
aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Yang
tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum
warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam
menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok
hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya
atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.
Adapu beberapa pasal yang mengatur tentang hukum kewarisan di negara kita
terdapat pada hukum perdata
Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
1. Hukum
keluarga
2. Hukum harta
kekayaan
3. Hukum benda
4. Hukum
Perikatan
5. Hukum
Waris
Penempatan hukum waris
terdapat pada Pasal 528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),dan pada perundang-undangan kompilasi hukum islam atau (KHI).
Didalamnya
subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yakni :
ü
Perwaris,
yakni yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta.
ü
Ahli
waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini
berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
Dalam hal ini penggolongan
ahli waris berdasarkan garis keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam
KUHPerdata, antara lain :
1.
Golongan
1, sebagaimana disebutkan pada Pasal 852 sampai Pasal 852a KUHPerdata;
2.
Golongan
II, sebagaimana disebutkan pada Pasal 855 KUHPerdata;
3.
Golongan
III, sebagaimana disebutkan pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan
4.
Golongan
IV, sebagaimana disebutkan pada Pasal 858 sampai dengan Pasal 861 KUHPerdata.
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau
istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan
di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya.
Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah,ibu,dan saudara baik ayah maupun ibu.
B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka
yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan
anak.
Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua,
saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
Dalam contoh bagan di atas
yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris.
Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh
kurang dari ¼ bagian
C. GOLONGAN III
kakek ,nenek keduanya. Dalam
golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan
waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun
ayah.
Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah
kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian
untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.
D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak
menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup.
Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan
derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
Hukum waris adat
Hukum waris adat Menurut Ter
Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari
abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa
Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak
berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia
kepada keturunnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan,
bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup dan
atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Adapun sifat atsau ciri Hukum Waris Adat dapat
diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di
Indonesia, di antaranya adalah :
1. Harta warisan dalam sistem Hukum
Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan
kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat
dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai
dengan uang.
2. Dalam Hukum Waris Adat tidak
mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana diatur dalam
hukum waris barat dan hukum waris Islam.
3. Hukum Waris Adat tidak mengenal
adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan
segera dibagikan.
D .HUKUM WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kompilasi hukum islam tersebut
adalah pengumpulan dasar-dasar hukum islam yang di teraturkan dan di jadikan
satu atau di bukukan untuk selanjutnya dijadikan acuan hukum dasar nasional.Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan
melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991,KHI memuat tiga buku yaitu: buku I HukumPerkawinan (Pasal
1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III HukumPerwakafan
(Pasal 215-229).Lihat Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
(t. tp.,: Depag RI, 1998/1999).Saat ini ada pembahasan
tentang RancanganUndang-Undang (RUU) Republik Indonesia tentang Hukum Terapan
Peradilan Agama yangmemuat 215 pasal yang terdiri dari ketentuan umum (pasal
1), perkawinan (pasal 2-172),kewarisan (pasal 173-215) yang menurut pengamatan
penulis dalam hal perkawinan dan kewarisan RUU tersebut tidak lain adalah
metamorfosis dari KHI.
Dalam kompilasi hukum islam telah dijelaskan pada pasal 211c(khi)
“Hibah dari orang tuanya pada anaknya dapat di perhitungkan sebagai
warisan”
kesimpulan pasal tersebut dapat di artikan
bahwa sesuatu yang di hibahkan dari orang tua dapat dikatakan sebagai
warisan,kebiasan pemberian sesuatu pada anaknya baik berupa barang ataupun yang
lain yang telah mejadi kebiasan atau yang lebih kita kenal dengan urf suatu
adat kebiasaan yang telah berlangsung telah lama atau tradisi .urf atau adat di
bagi dalam dua hal :
1.
urf
sahih ialah sesuatu yang telah dikenal dan tidak berlawanan dengan hukum syara
islam.
2.
urf
fasuh ialah sesuatu yang telah dikenal dan berlawanan dengan hukum syara
islam.dan hal ini tidak dapat di pelihara.
Pengumpulan sumber-sumber
hukum isalam yang kemudian di jadikan satu atau di bukukan dapat digunakan
sebagai acuan hukum islam terutama dalam bidang mawaris. kompilasi hukum
nasional dalam hukum waris islam dapat kita lihat dalam hukum kompilasi islam
yang telah sedikit di terangkan di bagian atas sebagai dasar hukum nasional
yang saat ini mulai di jalankan dan jadikan sebagai hukum negara misalnya saja
dalam bab waris ini,dimana telah telah tertulis dengan jelas pada kompilasi
hukum islam (KHI)
seperti Pewaris bab1Pasal 171c KHI dan ahli waris pasal 171,173,174,175 KHI,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga
buku yaitu:
Buku I HukumPerkawinan (Pasal 1-170),
Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214),
Buku III HukumPerwakafan (Pasal 215-229).
E.HUBUNGAN ANTARA WARIS ISLAM DENGAN HUKUM
WARIS NASIONAL
Hubumgan antara keduanya sanga
erat hal ini karna keduanya mebahas tentang perpindahan waris kepada tangan
orang lain berupa barang-barang peninggalan dalam keadaan bersih, artinya sudah
dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan
serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya
orang yang meninggalkan warisan tersebut.telah di jelaskan di atas tentang
hukum waris nasional dan hukum waris islam dimana Di negara kita RI ini, hukum waris
yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam
hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum
waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa dan yang
paling dominan dijadikan hukum adalah hukum waris islam namu pemerintah telah
mengesahkan beberapa hukum islam yang di jadikan undang-undangyaitu kompilasi
hukum islam(KHI) salah satunya yang didalamnya memuat beberapa hukum islam
dalam bidang-bidang tertentu khususnya dalam bidang waris.Begitu juga dengan
hukum perdata eropa yang di gunakan di negara kita sebagai acuan hukum nasional
berbagai bidang seperti halnya bab mawaris yang termasuk dalam hukum
perdata.
Hal inilah yang membuat hukum
nasional dan hukum waris islam erat kaitanya antara satu dengan yang lain dan
saling berhubungnan dalam penetapan hukum di negara kita ini,namun kebanyakan
dari penetapan hukum yang berada di andonesia ini lebih banyak menggunakan
hukum islam dari pada hukum lain.
F. KESIMPULAN
·
dasar
hukum islam berasal dari ketentuan syara yang telah tercantum jelas dalam
al-quran dan sunah rasul ataupu hadist yang telah di ruwayatkan, dimana dasar
yang di gunakan dan di jelaskan secara rinci tentang mawaris secara jelas dan
rinci dalam al-quran surah an-nisa.
·
Sedangkan
hukum waris nasional Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara
nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan
hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa di mana saat ini yang lebih
sering di gunnakan adalah hukum waris nasional.
·
Hukum
nasional dalam kompilasi hukum islam sudah banyak di gunakan dan banyak
hukum-hukum islami di kumpulkan dan di jadikan satu
berbentuk buku dan disahkan sebagai undang-undang(KHI)
·
Hubungan
antara kedua hukum tersebut baik waris nasional maupu waris islam sangat erat
kaitanya hal ini karna negara kita belum terbentuk hukum waris yang berlaku dan
masih menggunkan hukum peninggalan bangsa eropa,dan hukum adat masing-masing
DAFTAR PUSTAKA
Fiqih
al-hikmah,akik pustaka,surabaya.
Al-quran dan terjemah,mahkota,surabaya.
Al-quran htp//www.al-quran exsploler.com.
Kamus besar bahasa indonesia,htp//www.kamus bahasa.com
Al-quran dan terjemah,mahkota,surabaya.
Al-quran htp//www.al-quran exsploler.com.
Kamus besar bahasa indonesia,htp//www.kamus bahasa.com
Anderson, J. N.
D., Hukum Islam Di Dunia Modern, terj. Machnun Husein,
Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu Syari‟ah Dan Model-Model.
Syari‟ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari‟ah IAIN SunanKalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan AlHikmah,1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama, Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
Surabaya: Amarpress, 1991.
Anwar, Syamsul, “Pengembangan Ilmu Syari‟ah Dan Model-Model.
Syari‟ah dan Metodologi Penelitiannya Fakultas Syari‟ah IAIN SunanKalijaga Yogyakarta tanggal 22 Nopember 2000.
Anonim, Yurisprudensi (Peradilan Agama dan Analisa), Jakarta: Yayasan AlHikmah,1995.
Anonim, Profil Peradilan Agama, Jakarta, Dirjen Badilag MARI, 2008.
No comments:
Post a Comment